Nama ku Alicia.
Aku berumur 15 tahun. Saat dimana masa-masa SMA telah tiba. Masa yang
menentukan menjadi apa kita nanti. Aku mempunyai adik. Ia masih menduduki
bangku SD. Keterbatasan ekonomi lah yang menjadi masalah utama di keluarga kami.
Bersyukur aku bisa sekolah di sekolah yang orang bilang sekolah unggulan.
Pernah sesekali aku malu pada teman-temanku di sana. Mereka mempunyai fasilitas
yang cukup mewah, Bisa memiliki apa yang mereka inginkan, dan hidup mereka tak
sebanding dengan hidupku yang selalu berkecukupan.
Besok adalah
ujian nasional. Ujian yang menentukan aku lulus atau tidak. Malamnya aku
belajar di rumahku yang hanya terbuat dari dinding bambu yang beratapan kulit
rumbia. Aku belajar hanya ditemani dengan sebuah lilin yang menerangi kegelapan
di tempat tinggalku. Malam sudah larut,tiba-tiba hujan deras mengguyuri tempat
tinggalku disertai petir yang menggetarkan jiwaku. Tapi itu tak membuat
semangatku pudar dan aku terus belajar hingga aku hafal semua yang aku hafalkan
diluar kepala. Hari pertama aku ujian nasional. Mata pelajaran yang di ujikan
adalah bahasa Indonesia. Rasa cemas dan khawatir lah yang dirasakan oleh semua
murid yang sedang melaksanakan ujian nasional terutama aku. Aku mulai
menenangkan hatiku agar semua hafalan ku tidak ada yang lupa. Lembaran demi
lembaran telah aku jawab dengan sebaik dan secermat mungkin. Hingga tiba di
hari terakhir ujian. Mata pelajaran yang orang bilang sangat menakutkan yaitu
bahasa inggris. Aku memang tidak mempunyai bakat apapun dalam mata pelajaran
ini. Aku yang hanya anak dari seorang bapak tukang bangunan yang tidak bisa
belajar bahasa inggris dikarenakan factor ekonomi. Maka tak heran aku terkadang
iri melihat teman-temanku yang bisa belajar di tempat lesnya. Tapi semua itu
tidak bisa membuat kepercayaan diriku berkurang. “ Orang lain bisa mengapa aku
tak bisa? “ Alicia berusaha meyakinkan dirinya jika ia bisa mengerjakan
soal-soal tersebut. Penentuan hari kelulusan telah tiba, perasaan ku bercampur
aduk. Aku hanya bisa menunggu hingga namaku dipanggil oleh guru untuk mengambil
surat kelulusan itu. Perlahan-lahan ku buka surat itu dan akhirnya aku bisa
lulus dengan nilai yang memuaskan yaitu 3,90. Ketika aku sedang melihat nilai
ujian ku, kepala sekolah memanggilku. Entah apa yang ingin beliau bicarakan
kepadaku. Aku masuk ke ruangan kepala sekolah dan beliau berkata “ Selamat
Alicia anda mendapatkan juara 1 terbaik UN Se-Sumsel “ Alicia terkejut, ia
menangis seakan tak percaya dengan apa yang ia hadapi sekarang. “ Dan kamu juga
mendapatkan beasiswa di univesitas indonesia. Angan-anganmu yang selalu
teman-temanmu tertawakan sekarang menjadi kenyataan “ Jawab kepala sekolah.
Alicia menangis karena ia bahagia melihat kenikmatan yang allah berikan. Tanpa
basa-basi Alicia langsung belarian menuju tempat ayah bekerja. Rok abu-abu yang
menutupi sampai mata kaki ku angkat dengan membawa kabar gembira untuk ayah di
saat teriknya matahari yang mulai menyengat. Aku ingin menceritakan semuanya
kepada ayah bahwa orang seperti kita juga bisa sukses tanpa harta yang selama
ini kita pamer-pamerkan.
Sesampainya
disana, aku berhenti sejenak. 120 cm lagi jarak menuju tempat ayah bekerja.
Tiba-tiba aku melihat seseorang lelaki jatuh dari asbes dengan ketinggian 100
m. Orang-orang langsung melihat tempat kejadian tersebut. Spontan aku juga ikut
melihat. Begitu ku lihat, ternyata itu adalah ayahku. Kepala yang sudah
bercucuran darah dan sebagian anggota tubuh yang remuk akibat jatuh dari asbes.
Ayahku langsung dibawa ke rumah sakit. Dirumah sakit, dokter dan suster segera
menangani ayahku. Keadaan seperti inilah yang membuat aku panik, aku bingung,
aku takut, aku khawatir, entah banyak sekali perasaan yang aku rasakan. Di saat
dokter keluar dari ruangan UGD nya, aku segera menemui beliau. Dokter berkata “
Maaf sekali lagi kami sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi kenyataan nya
harapan ayahmu untuk sembuh kemungkinan sangat kecil.
Kita hanya bisa berdo’a dan
menunggu keajaiban dari allah datang “ Air mata yang sudah ku tahan dari tadi
kini mengalir di wajah ku.
Yang seharusnya
hari ini adalah moment terindahku bersama ayah. Yang ingin sekali ku lihat
lengkungan senyuman yang indah di wajahnya, yang ingin sekali ku dengarkan
komentar ayah tentang impian ku selama ini, yang ingin sekali merasakan pelukan
kebahagiaan yang ayah rasakan berubah menjadi seperti ini. Ingin aku tiadakan
moment seperti ini tetapi tidak bisa di pungkiri lagi jika kenyataannya sudah
seperti ini. Aku hanya pasrah dan berdo’a untuk keselamatan ayah. Segera ku
hapus air mata ku yang membendung wajah ku dan aku masuk ke ruangan UGD itu.
Aku melihat dari kejauhan ayah yang sudah tak mampu lagi untuk berdiri bahkan
tak mampu untuk melakukan aktivitas yang biasa ia lakukan, kepalanya yang
sekarang di lilitin oleh perban, tangan yang dahulunya bisa bisa bergerak kini
tak mampu lagi, ayah hanya berbaring di tempat tidurnya lemah tak berdaya. Aku
berusaha menahan air mata ku dan membuat senyuman di wajahku agar ayah tidak
sedih jika beliau melihat anaknya menangis. Aku mendekati tempat tidur ayah
secara spontan aku langsung memeluk ayah sambil berkata “ Ayah, jangan
tinggalkan Alicia. Alicia sayang ayah “ Ku lihat matanya kini berkaca-kaca
mendengar perkataan anaknya. “ Kamu mengapa Alicia? Ayah baik-baik saja lihat ayah
masih kuat kan? Ayah tidak akan meninggalkan kamu nak. Ayah selalu ada di sini,
disampingmu, bahkan dihatimu juga ada ayah. “ Jawab ayah. Mulai ku tunjukkan
senyuman di raut wajahku dan
menceritakan kabar gembira tersebut kepadanya. “ Ayah bangga melihat
keberhasilan mu nak, jadilah orang yang berguna bagi bangsa mu. Jangan jadikan
harta sebagai modal utama mu jika kamu ingin sukses. Gapailah impianmu setinggi
mungkin. Jangan lupa sholat dan ayah minta tolong sama kamu jaga adik dan ibumu
“ Komentar ayah. Ku lihat ayah menangis mendengar kabar tersebut entah apa yang
ia rasakan. Tangan yang selama ini membantuku untuk mewujudkan segala
angan-anganku kini telah memeluknya dengan erat seakan tangan ini tidak ingin
melepaskan kehangatan dan kenyamanan yang ia berikan. Perlahan-lahan tangan
yang sudah tak berdaya itu kini melepaskan pelukan erat yang baru saja aku
rasakan. Aku langsung memanggil dokter dan memaksanya untuk memeriksakan
kondisi kesehatan ayah ku. Dokter coba menggunakan alat untuk mengetahui denyut
nadinya masih ada atau tidak. Dokter segera menemui ku dan berkata “ Maaf,
nyawa ayah anda tidak tertolong lagi. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin
tetapi harapannya untuk hidup tidak ada lagi. “ Langsung tak ku hiraukan
perkataan dokter tadi, aku masuk ke dalam ruangan UGD itu dan memastikan bahwa
ayah masih hidup. Tetapi ku lihat matanya sudah terpejam lelap dan suster telah menutupinya dengan kain putih. Langsung
ku peluk tubuh ayah yang sudah tak berdaya lagi erat-erat seakan ayah juga
memelukku dan ku ciumi pipinya yang sudah mulai tua. Mengapa secepat ini ayah
pergi? Mungkin kabar gembira ini adalah hadiah terakhir yang aku persembahkan
untuk ayah. Aku akan terus berusaha menjaga
adik dan ibu. Akan ku kejar angan-angan yang ingin ku tunjukkan kepada
ayah. Aku coba menguatkan diriku agar tidak larut dalam kesedihan dan
mengikhlaskan kepergian ayahku agar ayah tenang disanaJ
Cerita
bersambung ya guys ntar di lanjutin lagi kok..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar