Jumat, 08 Agustus 2014

Hadiah Terakhir Untuk Ayah


Nama ku Alicia. Aku berumur 15 tahun. Saat dimana masa-masa SMA telah tiba. Masa yang menentukan menjadi apa kita nanti. Aku mempunyai adik. Ia masih menduduki bangku SD. Keterbatasan ekonomi lah yang menjadi masalah utama di keluarga kami. Bersyukur aku bisa sekolah di sekolah yang orang bilang sekolah unggulan. Pernah sesekali aku malu pada teman-temanku di sana. Mereka mempunyai fasilitas yang cukup mewah, Bisa memiliki apa yang mereka inginkan, dan hidup mereka tak sebanding dengan hidupku yang selalu berkecukupan.
Besok adalah ujian nasional. Ujian yang menentukan aku lulus atau tidak. Malamnya aku belajar di rumahku yang hanya terbuat dari dinding bambu yang beratapan kulit rumbia. Aku belajar hanya ditemani dengan sebuah lilin yang menerangi kegelapan di tempat tinggalku. Malam sudah larut,tiba-tiba hujan deras mengguyuri tempat tinggalku disertai petir yang menggetarkan jiwaku. Tapi itu tak membuat semangatku pudar dan aku terus belajar hingga aku hafal semua yang aku hafalkan diluar kepala. Hari pertama aku ujian nasional. Mata pelajaran yang di ujikan adalah bahasa Indonesia. Rasa cemas dan khawatir lah yang dirasakan oleh semua murid yang sedang melaksanakan ujian nasional terutama aku. Aku mulai menenangkan hatiku agar semua hafalan ku tidak ada yang lupa. Lembaran demi lembaran telah aku jawab dengan sebaik dan secermat mungkin. Hingga tiba di hari terakhir ujian. Mata pelajaran yang orang bilang sangat menakutkan yaitu bahasa inggris. Aku memang tidak mempunyai bakat apapun dalam mata pelajaran ini. Aku yang hanya anak dari seorang bapak tukang bangunan yang tidak bisa belajar bahasa inggris dikarenakan factor ekonomi. Maka tak heran aku terkadang iri melihat teman-temanku yang bisa belajar di tempat lesnya. Tapi semua itu tidak bisa membuat kepercayaan diriku berkurang. “ Orang lain bisa mengapa aku tak bisa? “ Alicia berusaha meyakinkan dirinya jika ia bisa mengerjakan soal-soal tersebut. Penentuan hari kelulusan telah tiba, perasaan ku bercampur aduk. Aku hanya bisa menunggu hingga namaku dipanggil oleh guru untuk mengambil surat kelulusan itu. Perlahan-lahan ku buka surat itu dan akhirnya aku bisa lulus dengan nilai yang memuaskan yaitu 3,90. Ketika aku sedang melihat nilai ujian ku, kepala sekolah memanggilku. Entah apa yang ingin beliau bicarakan kepadaku. Aku masuk ke ruangan kepala sekolah dan beliau berkata “ Selamat Alicia anda mendapatkan juara 1 terbaik UN Se-Sumsel “ Alicia terkejut, ia menangis seakan tak percaya dengan apa yang ia hadapi sekarang. “ Dan kamu juga mendapatkan beasiswa di univesitas indonesia. Angan-anganmu yang selalu teman-temanmu tertawakan sekarang menjadi kenyataan “ Jawab kepala sekolah. Alicia menangis karena ia bahagia melihat kenikmatan yang allah berikan. Tanpa basa-basi Alicia langsung belarian menuju tempat ayah bekerja. Rok abu-abu yang menutupi sampai mata kaki ku angkat dengan membawa kabar gembira untuk ayah di saat teriknya matahari yang mulai menyengat. Aku ingin menceritakan semuanya kepada ayah bahwa orang seperti kita juga bisa sukses tanpa harta yang selama ini kita pamer-pamerkan.
Sesampainya disana, aku berhenti sejenak. 120 cm lagi jarak menuju tempat ayah bekerja. Tiba-tiba aku melihat seseorang lelaki jatuh dari asbes dengan ketinggian 100 m. Orang-orang langsung melihat tempat kejadian tersebut. Spontan aku juga ikut melihat. Begitu ku lihat, ternyata itu adalah ayahku. Kepala yang sudah bercucuran darah dan sebagian anggota tubuh yang remuk akibat jatuh dari asbes. Ayahku langsung dibawa ke rumah sakit. Dirumah sakit, dokter dan suster segera menangani ayahku. Keadaan seperti inilah yang membuat aku panik, aku bingung, aku takut, aku khawatir, entah banyak sekali perasaan yang aku rasakan. Di saat dokter keluar dari ruangan UGD nya, aku segera menemui beliau. Dokter berkata “ Maaf sekali lagi kami sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi kenyataan nya harapan ayahmu untuk sembuh kemungkinan sangat kecil.
Kita hanya bisa berdo’a dan menunggu keajaiban dari allah datang “ Air mata yang sudah ku tahan dari tadi kini mengalir di wajah ku.
Yang seharusnya hari ini adalah moment terindahku bersama ayah. Yang ingin sekali ku lihat lengkungan senyuman yang indah di wajahnya, yang ingin sekali ku dengarkan komentar ayah tentang impian ku selama ini, yang ingin sekali merasakan pelukan kebahagiaan yang ayah rasakan berubah menjadi seperti ini. Ingin aku tiadakan moment seperti ini tetapi tidak bisa di pungkiri lagi jika kenyataannya sudah seperti ini. Aku hanya pasrah dan berdo’a untuk keselamatan ayah. Segera ku hapus air mata ku yang membendung wajah ku dan aku masuk ke ruangan UGD itu. Aku melihat dari kejauhan ayah yang sudah tak mampu lagi untuk berdiri bahkan tak mampu untuk melakukan aktivitas yang biasa ia lakukan, kepalanya yang sekarang di lilitin oleh perban, tangan yang dahulunya bisa bisa bergerak kini tak mampu lagi, ayah hanya berbaring di tempat tidurnya lemah tak berdaya. Aku berusaha menahan air mata ku dan membuat senyuman di wajahku agar ayah tidak sedih jika beliau melihat anaknya menangis. Aku mendekati tempat tidur ayah secara spontan aku langsung memeluk ayah sambil berkata “ Ayah, jangan tinggalkan Alicia. Alicia sayang ayah “ Ku lihat matanya kini berkaca-kaca mendengar perkataan anaknya. “ Kamu mengapa Alicia? Ayah baik-baik saja lihat ayah masih kuat kan? Ayah tidak akan meninggalkan kamu nak. Ayah selalu ada di sini, disampingmu, bahkan dihatimu juga ada ayah. “ Jawab ayah. Mulai ku tunjukkan senyuman di  raut wajahku dan menceritakan kabar gembira tersebut kepadanya. “ Ayah bangga melihat keberhasilan mu nak, jadilah orang yang berguna bagi bangsa mu. Jangan jadikan harta sebagai modal utama mu jika kamu ingin sukses. Gapailah impianmu setinggi mungkin. Jangan lupa sholat dan ayah minta tolong sama kamu jaga adik dan ibumu “ Komentar ayah. Ku lihat ayah menangis mendengar kabar tersebut entah apa yang ia rasakan. Tangan yang selama ini membantuku untuk mewujudkan segala angan-anganku kini telah memeluknya dengan erat seakan tangan ini tidak ingin melepaskan kehangatan dan kenyamanan yang ia berikan. Perlahan-lahan tangan yang sudah tak berdaya itu kini melepaskan pelukan erat yang baru saja aku rasakan. Aku langsung memanggil dokter dan memaksanya untuk memeriksakan kondisi kesehatan ayah ku. Dokter coba menggunakan alat untuk mengetahui denyut nadinya masih ada atau tidak. Dokter segera menemui ku dan berkata “ Maaf, nyawa ayah anda tidak tertolong lagi. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi harapannya untuk hidup tidak ada lagi. “ Langsung tak ku hiraukan perkataan dokter tadi, aku masuk ke dalam ruangan UGD itu dan memastikan bahwa ayah masih hidup. Tetapi ku lihat matanya sudah terpejam lelap dan suster  telah menutupinya dengan kain putih. Langsung ku peluk tubuh ayah yang sudah tak berdaya lagi erat-erat seakan ayah juga memelukku dan ku ciumi pipinya yang sudah mulai tua. Mengapa secepat ini ayah pergi? Mungkin kabar gembira ini adalah hadiah terakhir yang aku persembahkan untuk ayah. Aku akan terus berusaha menjaga  adik dan ibu. Akan ku kejar angan-angan yang ingin ku tunjukkan kepada ayah. Aku coba menguatkan diriku agar tidak larut dalam kesedihan dan mengikhlaskan kepergian ayahku agar ayah tenang disanaJ

 
Cerita bersambung ya guys ntar di lanjutin lagi kok..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar