Rabu, 02 Oktober 2013

jin jubah hijau-karya Jingu Gadsi


jin jubah hijau-karya Jingu Gadsi

Aku tidak bisa tidur, perut ku lapar. Sekarang jam 2 pagi. Udara di atas pegunungan Everko begitu dingin. Di tenda kecil ini, aku berusaha memejamkan mataku sejak pukul 12 tadi dan sama sekali tidak berhasil. Mungkin memang karena rasa lapar ini. Aku mahasiswi semester 5. Aku sedang berlibur dengan teman-temanku mendaki gunung dalam rangka mengisi liburan semester, melepas penat setelah melewati UAS yang selalu menjadi beban mahasiswa. Jam terus berdenting, perut ku semakin lapar. Bingung harus makan apa di atas gunung tengah malam begini.
Nana, teman kuliah ku yang tidur satu tenda dengan ku, bangkit dari tidur lelapnya. Sangat lelap hingga ia mendengkur. Ia duduk diam dalam gelapnya tenda. Aku yang terbaring dan belum memejamkan mata sedari tadi hanya mengamatinya dengan diam. Lalu Nana membuka retsleting tirai tenda seraya mengarahkan senter ke arah luar.
“Na, ngapain?” tanya ku dengan suara setengah berbisik.
“Hemh?” respon Nana singkat dengan nada seperti orang yang masih setengah tertidur.
“Siapa itu? Nana?” suara pria berteriak dari arah luar.
“Kenapa Na? Tidak bisa tidur?” ujar Dera, salah seorang pria lain lagi dari arah luar. Ternyata teman-teman ku yang pria masih belum tidur dan menyalakan api unggun di luar sambil menikmati kopi hangat.
“Hemh? Tidak.” jawabnya singkat.
“Na, aku lapar.” ucap ku.
“Hemh?” lagi lagi respon singkat Nana. Nampaknya nyawanya belum terkumpul seluruhnya sedari bangun dari tidur tadi.
“Aku mau makan popmie deh. Aku bawa sih.” ucap ku lagi. Jika kali ini Nana hanya merespon dengan kata ‘Hemh?’ aku akan benar-benar menjambak rambutnya, pikirku.
“Ya sudah, makan aja.” ujar Nana. Huh, syukurlah ia ada tanggapan walau hanya tanggapan singkat.
“Tapi aku males masak air panasnya.”
“Itu di luar anak-anak lagi masak air, pada nyeduh kopi.”
“Oh. Ya udah.”
Aku dan Nana pun keluar tenda di tengah udara yang menusuk. Aku menarik jaket ku sehingga erat memeluk tubuhku untuk menghilangkan menggigil yang menyerang ku. Aku dan Nana berjalan menuju api unggun yang di kelilingi empat pria dengan mengarahkan cahaya senter ke mereka.
“Ayo sini ikut ngumpul.” ucap Siel.
“Aku minta air panasnya ya. Mau seduh popmie. Ada yang mau? Aku bawa dua nih?” ucap ku.
“Mau gak kamu tuh, El?” ucap Dera kepada Siel yang duduk tepat di sebelahnya.
“Bilang aja kamu yang mau Ra.” jawab Siel.
“Iya emang aku mau. Aku mau ya, Duma, satu.” ucap Dera sambil tertawa kecil.
Aku pun mulai membuat popmienya. Membuka bungkusnya, menaruh bumbu-bumbunya, juga untuk popmie Dera. Serasa aku istri Dera yang sedang menyiapkan makan untuk suaminya, pikirku. Lalu aku mengambil panci kecil berisi air panas yang di gantung di atas api unggun kecil-kecilan buatan Dera, Siel, Abdul dan Azien. Tapi entah kenapa, aku tersandung dan malah menumpahkan sedikit air panas itu di tanganku.
“Auu” teriak ku. Untung saja aku mengenakan jaket tangan panjang. Tapi air panasnya menyerap masuk ke dalam pori-pori jaket, dan sensasi panas pun pada akhirnya menyengat kulitku juga. Dengan panik, cepat-cepat aku membuka jaket ku.
“Aish gak hati-hati sih” ujar Siel.
Aku hanya mengenakan tanktop karenanya. Tiba-tiba angin dingin berhembus. Bulu kuduk ku berdiri karena dinginnya.
“Nih pake jaket aku aja, Ma.” Siel menawarkan.
Belakangan aku tahu, sesosok pria yang mengenakan kain berwarna hijau tua yang dililitkan sedemikian rupa di tubuhnya, agak mirip seperti memakai kain ihram, sedari tadi ternyata mengamati gerak-gerik ku. Pria itu berdiri di atas ranting pohon pinus yang sangat tinggi yang ada di dekat tempat kami menyalakan api unggun. Entah apa yang membuatnya tak sekali pun melepas pandangan dari ku. Dan saat aku melepaskan jaket ku, dan hanya tinggal mengenakan tanktop hitam, raut matanya berubah, kaget, seakan tebelalak, alisnya sedikt terangkat.
“Dia sangat cantik” ucap pria misterius itu.
“Ah gak usah. Aku pake jaket aku lagi aja, udah gak berasa air panasnya.” jawabku pada Siel.
Selesai makan dan bercengkarama, kami kembali ke tenda masing-masing. Perut sudah kenyang, sekarang aku akan mencoba untuk tidur. Aku melihat jam tangan ku. Menunjukan pukul 3 pagi. Fajar dalam beberapa jam lagi akan segera terbit. Aku ingin melihatnya. Tapi dengan kondisi aku yang belum tidur sama sekali apa mungkin aku bisa.
Mata ku terbuka, udara dingin masih jelas terasa. Aku menengok ke samping dan mendapati Nana sudah tidak di tenda. Sambil mengucek-ucek sebelah mata aku melihat jam tangan ku, pukul 6 pagi. Benar saja, ini sudah terlambat untuk melihat matahari terbit. Aku bangun dari tidur dan duduk. Aku menunduk, rasa lelah dan pegal masih setia di tubuhku. Lalu tiba-tiba perutku terasa mual, aku ingin muntah. Cepat-cepat aku keluar tenda dan … Jackpot!
Lalu aku merasa ada yang mengusap pundak ku dari belakang. Tangannya terasa begitu hangat. Aku menoleh ke belakang, aku pikir itu mungkin Nana atau mungkin Siel. Tapi ternyata tidak ada siapa-siapa. Aku sedikit menarik napas, bingung dibuatnya. Lalu seakan sihir rasa hangat di pungungku semakin hangat dan menjalar ke seluruh tubuh. Rasanya sangat nyaman.
“Duma?!” Ucap Arin yang baru keluar dari tenda, teman kuliahku juga yang tendanya di sebelah tenda ku, ia terlihat sangat kaget.
“Um. Aku muntah.” Jawab ku singkat.
Arin hanya menatapku, diam, kaget. Bukannya menghampiriku memberi minyak angin atau minum gitu, pikirku. Aku berbalik masuk lagi ke tenda untuk mengambil minum. Dan juga aku meminum obat mual untuk jaga-jaga agar tidak muntah lagi. Sepertinya aku masuk angin karena menahan lapar semalam itu. Sampai akhirnya memakan popmie tapi itu pun tidak menyelamatkan perutku. Aku kembali ke luar tenda, dan Arin masih di tempat tadi. Wajahnya terlihat gelisah.
“Aku udah gak apa-apa kok, Rin. Yang lain kemana?” Ucap ku.
“Oh. Disana.” Jawabnya singkat sambil menunjuk ke arah tebing dekat tempat kami berkemah. Tampatnya sangat indah, dari tebing itu kami bisa meliahat jauh hingga ke bawah, melihat hamparan hutan lebat yang seperti karpet hijau lebar dari atas sini.
Aku menghampiri teman-temanku yang sudah ada di pinggir tebing. Sosok pria berkain hijau itu muncul lagi dan mengikuti langkah ku, tepat di belakang ku, hanya berjarak sekitar 30 cm, tanpa ku ketahui. Tapi lalu langkahnya terhenti. Sesosok pria berpakaian yang sama dengannya hanya saja kainnya berwarna putih, memegang tangannya dan menahan langkahnya.
“Ah. Soju.” ucap pria berkain hijau seraya menoleh ke pria berkain putih.
“Sudahlah. Dia manusia.” ujar Soju kepada Riyong, pria berkain hijau.
“Tapi sepertinya aku jatuh cinta.” jawab Riyong.
“Tapi dunia manusia dan dunia kita berbeda. Kita jin. Dimensi kita berbeda.” jelas Soju yang membuat Riyong terdiam. Raut sedih tergambar di wajahnya yang bisa dikatakan tampan. Riyong menoleh ke arah kerumunan remaja yang sedang tertawa bersama di pinggir tebing. Ia memandangi ku.
Lalu dengan gerakan cepat Riyong melompat tinggi dan terbang ke arah ku. Dengan sigap Soju mengikutinya dan menarik tangannya. Akhirnya mereka berdua jatuh di belakang ku. Aku dan teman-temanku yang lain tidak mengetahui ini, kami tidak bisa melihat mereka. Tapi aneh rasanya aku bisa bercerita seperti ini padahal aku tidak bisa melihat mereka. Ini semua atas cerita Arin, yang belakangan baru menceritakannya kepada ku. Arin memang memiliki kelebihan yang unik di banding manusia lainnya. Ia dapat melihat mahluk yang berbeda dimensi dengan manusia. Seperti setan, termasuk jin.
“Bangsa kita memiliki aturan tentang ini kan. Kamu lupa?” ucap Soju.
“Aku akan membawanya ke dunia jin.” ucap Riyong.
“Janganlah ikut campur dalam urusan bangsa manusia.” ucap Soju seraya pergi berjalan meninggalkan tempat itu.
“Yaaa!!” teriak Riyong marah. Lalu angin kecang langsung berhembus, ranting-ranting pohon di hutan bergoyang mengikuti amarah Riyong. Pusaran angin sperti tornado kecil pun terbentuk mengelilingi Riyong. Pusaran angin itu bergerak menuju Soju, Riyong berada di dalam pusaran itu. Pusaran itu mengahantam keras tubuh Soju dan menariknya ke dalam pusaran. Di dalam pusaran itu Soju dan Riyong saling bertatapan, tatapan Riyong penuh amarah.
“Kau. Memangnya aku pernah mencampuri urusan mu?!” teriak Riyong.
Soju yang takut hanya bisa diam.
Angin yang besar tiba-tiba bertiup di saat kami sedang asik bercengkrama di pinggir tebing ditemani sinar matahari pagi yang menyehatkan.
“Aduh, anginnya besar banget.” ucap Dera.
Wajah Arin tampak agak ketakutan.
“Mau balik ke tenda?” tanya ku pada mereka.
“Ma, sebenernya, dari tadi…” ucap Arin ragu.
“Kenapa?” tanya ku.
“Sebernya, dari tadi, ada mahluk halus yang ngikutin kamu.” jelasnya.
“Hah?!” respon ku dan juga semua temanku di situ merespon dengan ucapan yang sama. Kami semua shock.
“Saat kamu muntah tadi, di depan tenda, sebenernya ada sosok pria gaib berjubah hijau yang megang pundak kamu. Terus barusan, angin itu, angin besar itu ulah mahluk berjubah hijau itu. Sepertinya ia jin penunggu gunung ini. Aku rasa dia punya niat buruk ke kamu, Duma.” jelas Arin dengan wajah agak pucat.
Aku terpaku, tubuhku gemetar, tanganku dingin. Aku hanya menatap kosong ke arah Arin setelah ia menceritakannya. Semua teman-temanku memasang wajah bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
“Aku mau pulang.” ucap ku dengan pandangan kosong.
“Ini. Pakai ini.” ucap Arin sambil melepaskan kalungnya. “Kalung ini bisa menjauhkan mahluk halus dari yang memakainya. Ini pemberian nenekku yang juga bisa melihat mahluk halus.” lalu ia mengalungkannya di leherku.
“Ya sudah, kalau begitu kita pulang siang ini.” ucap Siel.
Siang ini cuaca cukup bersahabat. Matahari tidak begitu terik tapi tidak juga mendung. Kami berdelapan berjalan menuruni gunung dengan perkiraan akan sampai di bawah sebelum sore. Aku berjalan di depan dengan Nana dan Dera. Siel dan Arin mengikuti di belakang kami. Abdul, Axzien dan Riri ada di paling belakang. Arin menyusul dan berjalan di sampingku, ia memepetkan tubuhnya padaku.
“Ada dua jin pria yang berjalan di belakang mengikutimu.” Bisik Arin.
Aku tertegun. Aku reflek menghentikan langkahku.
“Kamu kenapa, Duma?” tanya Dera.
“Gak apa-apa.” jawabku dan kembali melanjutkan langkahku. Sepanjang perjalanan turun aku hanya diam. Begitu pun Arin yang berjalan di belakangku. Ia hanya terdiam.
Selesai mandi sore, walaupun sekarang sudah malam, juga dengan keramas, badan terasa sangat segar setelah baru pulang dari kemping yang tidak mandi sama sekali. Sepanjang perjalanan pulang aku dan Arin sama sekali tidak bicara, sepatah kata pun. Aku tidak berani melihat wajahnya. Aku takut dia akan memberikan informasi tentang jin itu, terlebih jika informasi itu membuat ku gemetar.
Tapi sedari aku sampai di rumah tadi sore, hingga malam ini sekitar pukul 8, aku masih memikirkan jin itu. Apakah dia masih mengikuti ku? Sampai mana dia mengikuti ku? Kenapa dia mengikuti ku? Ada banyak pertanyaan ku pada Arin, tapi aku takut menannyakannya. Tapi karena penasaranku, aku memberanikan diri menelpon Arin malam ini.
“Arin?” ucap ku.
“Duma.” jawabnya.
“Aku mau tanya sesuatu ke kamu.” ucap ku dan terdiam sejenak meragu. “Jin itu, dia masih mengikuti ku?”
“Tadi aku menelpon nenek ku, dan meminta ia menrawang ke tempat berada. Nenek aku bilang kamu masih diikuti.” jelas Arin.
Benar saja jawaban yang tidak ingin ku dengar baru saja mampir di telingaku. Aku langsung merinding, lalu aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kamar.
“Sebenarnya juga, saat kita turun gunung tadi. Aku melihatnya.” ujar ku.
“Kamu? Melihat? Sosoknya?”
“Um.” jawabku meng-iya-kan.
“Seperti apa?”
“Hstt…” aku menarik nafas dari mulut. “Aku tidak lihat jelas, tapi sepertinya matanya berwarna hijau, hidungnya mancung dan dia berponi. Poninya gaul banget. Mirip poni justin bieber. Dia juga pakai kain warna hijau. Dia berjalan di samping ku, melangkah seiring langkahku. Tapi ketika aku menoleh ke samping, aku tidak melihat apa-apa. Hanya Dera di samping ku.” Jelas ku panjang lebar, dengan mendetail sebisa ingatan ku.
“Iya benar. Itu juga sosok yang aku lihat. Tapi… kenapa kamu bisa melihatnya. Mungkin indera keenam mu yang mulai peka karena selalu diikuti olehnya mungkin juga jin itu sendiri yang membuat dirinya Nampak untuk matamu.” jelasnya.
“Ah begitu rupanya. Barusan saat aku mandi, aku juga merasa ada yang memperhatikan ku. Aku gak tau itu perasaan aku saja atau gimana. Makanya aku cepet-cepet udahan mandinya tadi.” ceritaku.
“Ini gak bisa dibiarin. Ma.” ucapnya. “Nenekkku bilang kamu sebaiknya datang saja ke rumah nenek, dia akan membantu mu mengusir jin itu.”
“Hm. Baiklah. Tapi bicara tentang nenek mu, aku jadi ingat kalung ini. Kenapa jin itu masih tetap bisa mengikuti ku padahal aku sudah mengenakan kalung ini ya?”
“Itu juga yang aku bingungkan.” ujar Arin. “Jadi kapan kamu bisa ke rumah nenek ku? aku akan mengantarmu.”
Hari ini aku dan Arin mengunjungi rumah neneknya Arin. Kami berjalan menelusuri jalan komplek yang sangat sepi, tidak ada kendaraan umum yang lewat di daerah itu. Jaraknya cukup lumayan, lumayan membuat kaki ku pegal.
“Nah ini, yang pagar coklat.” ucap Arin
“Oh jadi disini rumah nenek mu.”
“Ayo masuk.” ucapnya seraya membuka pagar coklat setinggi dada orang dewasa. Tanpa memencet bel, tanpa mengucap salam, Arin membuka pagar yang tidak di kunci itu. Nampaknya dia sudah sering betul kesini sehingga sudah menganggapnya seperti rumah sendiri.
Kami memasuki rumahnya yang bernuansa adat jawa. Kami sampai di ruang tengahnya, di sana neneknya berada, sedang duduk di sofa tua sambil menonoton tv.
“Tapi aneh, dia gak masuk.” ujar Arin.
“Hah?” respon ku bingung.
“Jin itu gak ikut kita masuk ke rumah.” ujarnya lagi. “Nek, apa kabar?” ucap Arin pada neneknya dengan volume suara yang agak dibesarkan, mungkin karena pendengaran neneknya yang sudah tua. Arin menghampirinya dan mencium tangan nenenknya. Aku pun mengikuti.
“Baiiik.” jawabnya singkat.
Lalu Arin duduk di samping nenek. Aku pun ikut duduk di sofa satunya lagi.
“Jadi dia berhenti di pagar depan rumah?” ucap sang nenek. Lalu Arin mengintip ke arah luar melalui jendela yang ada di belakang tempat ia duduk.
“Ah! Benar.” ujar Arin.
Nenek melihat ke arahku. Aku balas dengan senyuman.
“Kalung itu.” kata nenek.
“Ah itu. Aku meminjamkannya. Tapi aneh, kalung itu gak berfungsi mengusir mereka, Nek.” jelas Arin.
“Mantra di kalung itu sudah rusak, seperti saat berpindah kepemilikan. Mantranya menolak pemilik yang baru.” jelas sang nenek.
“Oh begitu rupanya.” ucapku singkat.
“Tapi kenapa bisa begitu, Nek?” tanya Arin.
“Setiap benda bermantra memiliki pikarannya sendiri.” ucap nenek. “Kalau begitu kalian pulang sajalah. Tidak ada yang bisa nenek lakukan jika jin nya tidak mau masuk ke dalam. Sia-sia botol bermantra yang nenek sudah siapkan.”
“Oh, nenek sudah menyiapkan botol untuk mengurung mereka.” ucap Arin.
“Oh! Jadi hal seperti itu benar-benar bisa di lakukan? Aku pikir hanya di film-film saja.” ucap ku
“Hahaha teman kau ini lucu Rin.” ujar nenek sambil tertawa kecil. “Kalau begini, biar nanti nenek yang datang ke rumah mu.” ucapnya padaku.
“Jadi sampai kapan kau akan terus mengikuti perempuan itu?!” ujar Soyu. Mereka bercengkrama saat menunggu ku keluar dari rumah sang nenek.
“Sampai ia yang mau mengikuti ku.” jawab Riyong. “Aku akan membuatnya menyukai ku dan pada akhirnya aku akan membawanya ke dunia kita.”
“Kau tau jika melakukan hal itu kau akan mendapat hukuman. Kau bisa dikutuk menjadi setan selama 100 tahun. Kau tau itu.” jelas Soyu.
“Kalau begitu jangan biarkan ada yang mengetahuinya selain kau dan aku.” jawabnya.
“Hufft. Lelah aku menasehatimu. Dengar, selama ribuan tahun tidak ada kaum jin yang melanggar hukum itu, tidak ada yang membawa bangsa manusia ke dunia jin dan merubahnya menjadi jin. Jadi kemungkinan kau bisa membawa dan merubah perempuan itu, sangat amat kecil.” jelas Soyu lagi.
“Aku bisa. Lihat saja, ini akan jadi sejarah di dunia jin. Haha.” ucap Riyong. “Terima kasih sudah menasehati ku sepanjang aku mengikuti Duma. Aku tahu kau sahabat ku, tapi aku tidak akan merubah niatku.”
“Riyong. Dengarkan aku, sebagai sahabat aku mohon padamu untuk memikirkan lagi niatmu itu.”
“Dengar. Soyu, selama jutaan tahun aku ada di bumi ini, baru dia lah yang dapat membuat hatiku berdebar kencang. Aku tidak ingin jauh darinya.”
Keesokan harinya, di kamar, aku baru saja bangun tidur. Ini sangat siang, maklum masih dalam suasana liburan, jadi bangun siang tidak ada salahnya. Aku mandi, rapi-rapi dan juga merapikan kamar. Lalu saat aku merapikan tempat tidur ku, aku merasa ada yang memperhatikan ku dari belakang. Aku menoleh. Benar, mahluk itu mewujudkan dirinya di hadapan ku. Di pojok kamar ia berdiri tegap sambil tersenyum kecil.
“Ak. Siapa kamu?” ucap ku gugup karena kaget.
Mahluk itu hanya diam dan tetap tersenyum ke arah ku.
“Jawab! Kamu siapa?!” ucapku lagi sambil sedikit teriak. Lalu tiba-tib angin besar masuk dari jendela kamarku, gorden kamarku melambai-lambai tinggi. Pintu kamarku tertutup terhempas keras. ‘Brak’ suara pintu tertutup mengagetkanku.
Aku menoleh ke arah pintu yang ada di belakang ku. Aku takut. Lalu aku kembali menoleh ke depan. Dan mahluk bermata hijau dan berjubah hijau itu sudah menghilang.
Siang ini aku mengunjungi rumah Nana hanya untuk bermain mengisi waktu liburan, sekalian juga menghilangkan rasa shock ku tentang kejadian di kamar tadi. Selama bermain dengan Nana aku tidak menceritakan apapun tentang jin itu. Aku tidak ingin membahasnya, itu hanya membuatku semakin takut.
Sebelum matahari tenggelam aku sudah pamit dari rumah Nana. Dan berjalan pulang menuju rumah. Rumah ku dan Rumah Nana tidak begitu jauh, mungkin hanya berjarak sekitar 200 meter. Jadi aku biasa berjalan kaki jika pulang dari rumahnya atau pun saat menuju rumahnya.
Mungkin benar yang dikatakan Arin. Indera keenam ku mulai sedikit peka karena selalu dibuntuti oleh dua mahluk halus. Di perjalanan pulang aku merasa ada yang mengikuti langkahku. Aku berhenti melangkah dan menoleh. Benar saja mahluk itu muncul lagi. suasana jalanan sebenarnya ramai, tapi aku rasa hanya aku seorang yang dapat melihat sosoknya. Nafas ku tertahan. Aku kaget. Tapi kali ini tidak seterkejut seperti saat di kamar tadi. Wajahnya tersenyum. Senyum yang sama seperti saat ia muncul di kamar. Tapi lalu ia menghilang lagi, hanya sekelebat mata ia muncul. Aku merasa ia ingin membiasakan diriku dengan keberadaannya di sekeliling ku, maka itu ia melakukan hal semacam ini padaku.
Suara petir membangunkan tidurku. Aku membuka mata. Nampaknya di luar sedang hujan deras. Nenek Arin bilang kalau dia dan Arin akan ke rumah ku hari rabu, itu masih lusa. Tapi kenapa meraka berdua ada di kamarku? Aku menatap mereka bingung. Pintu kamar ku terbuka. Ayah dan Ibu juga ada di kamar, di ambang pintu. Aku bangkit dan duduk. Aku bingung. Aku melihat ke sekeliling kamarku.
“Ada apa?” tanya ku.
Ibu berlari kecil ke arah ku dan memeluk ku. “Syukurlah nak” ucapnya.
“Ada apa, Bu?” tanya ku lagi.
“Nenek ku punya firasat kau akan dibawa oleh jin itu malam ini. Jadi kami buru-buru ke sini dan benar saja.” jelas Arin.
“Huh?” responku.
“Tapi kamu gak usah khawatir, nenek sudah mengurung jin yang ingin memawa arwah mu.” jelasnya lagi
“Ibu tadi sangat takut, Duma. Kedua jin itu memunculkan wujudnya kepada kami semua. Dan mereka mencoba lari dari neneknya Arin. Ibu sangat takut melihatnya.”
“Tenang, Bu. Sekarang sudah tidak apa-apa.” ucap sang nenek.
“Huuuh.” aku menghela nafas tanda lega. “Baguslah kalau begitu. Terima kasuh, Nek.”
Dan begitulah, akhirnya aku bisa menjalani hari-hariku dengan normal lagi tanpa diikuti siapa pun. Mungkin aku tidak akan pernah kemping di gunung lagi. Secara tidak langsung kejadian ini membuat trauma tersendiri untuk ku.
Libur semester segera berakhir. Hari ini, akhir pekan terakhir sebelum di mulai lagi perkuliahan ku. Aku, Nana dan Siel janjian bermian sepeda pagi ini mengitari monas. Kami bertiga asik menggoes sepeda sewaan, pagi masih gelap, udara dingin khas subuh membelai kulit ku. Lalu tiba-tiba aku melihat sosok jin mata hijau berjubah hijau itu lagi di pinggir taman yang kami lewati saat bersepeda. Ia menatapku dalam sambil tersenyum. Aku balas menatapnya. Setengah bingung dan setengah takut.
Dan belakangan baru ku ketahui kalau Neneknya Arin hanya mengurung Soyu, bukannya Riyong. karena Nenek Arin mengira Soyu lah jin yang berniat jahat padaku, bukan Riyong. Neneknya Arin bilang kalau ia melihat jin berjubah putih lah yang menarik arwah ku saat aku tidur. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah saat Riyong menarik arwah ku dan berniat membawa arwah ku ke negeri jin, Soyu menghalanginya dengan merebut arwah ku dari genggaman Riyong dan berniat mengemabalikannya ke tubuh ku. Tapi saat Soyu ingin mengembalikan arwah ku, saat itulah Arin dan Neneknya datang ke kamar ku, dan mengira Soyu lah yang berniat jahat padaku. Riyong memang muncul di kamar ku sebentar, awalnya dengan niat mengambil arwahku kembali tapi karena perlawanan dari Neneknya Arin cukup kuat, sehingga Riyong cepat-cepat melarikan diri. Dan Soyu lah yang terkurung di dalam botol. Dan sekarang, Riyong terus hadir dalam hari-hari ku. Aku tidak tahu sampai kapan. Mungkin selamanya, atau mungkin juga sampai ia berhasil mengajaku ku ke dunia nya.
Cerpen Karangan: jingu gadsi
Facebook: gadis yanuarisma
Mahasiswa semester tengah yg mulai bosan dengan segala materi kuliahnya dan akhirnya menjajal sebagai penulis pemula. Harap maklum atas cerpen saya yg masih jauh dr kata bagus. Masih belajar :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar